Bisnis.com, JAKARTA- Mobil listrik dan truk mendominasi nilai impor produk otomotif tatkala pasar domestik melorot. Dominasi itupun semakin menjadi-jadi dengan fasilitas bak ‘karpet merah’ bagi importir.
Mobil dan truk impor lazim untuk menutup kebutuhan pasar otomotif dalam negeri. Terlebih lagi, selera dan kebutuhan tiap segmen konsumen berbeda, ada kalanya lebih kecantol barang asing yang tak diproduksi di Indonesia.
Para pemain dan pelaku industri otomotif yang telah mengoperasikan pabrik di sinipun mahfum hal demikian. Namun belakangan banyak hal yang memaksa para produsen lokal itu menggigit bibir, seolah sudah jatuh tertimpa tembok.
Pasalnya, mobil dan truk impor deras masuk justru dengan berbagai ‘keistimewaan’. Ambil contoh terkait importasi truk, sewaktu pasar kendaraan niaga domestik melorot, nilainya justru mendominasi.
Sepanjang tahun lalu, sebagaimana dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai impor kendaraan bermotor dan bagiannya yang terhimpun dalam kode HS 87, sebesar US$9,7 miliar. Nilai impor truk (HS 87041037) jadi salah satu dari 40 komoditas dengan nilai total impor terbesar dalam setahun, yakni US$643,5 juta, setara Rp10,5 triliun.
Kontributor impor terbesar lainnya untuk kendaraan bermotor dan bagiannya, tak lain ialah mobil listrik. Untuk mobil listrik impor CKD (HS 87038018) mencapai US$408 juta atau Rp6,6 triliun pada tahun lalu. Sedangkan untuk mobil listrik impor CBU (HS 87038098), tercatat sebesar US$334,7 juta alias Rp5,5 triliun.
Sejak dua tahun belakangan, berbagai pihak menyoroti derasnya aliran impor truk, terlebih seiring pelonggaran kebijakan terkait armada bekas. Truk impor ini disorot lantaran melibas regulasi seperti ketentuan emisi karbon dan standar bahan bakar, hingga proses uji tipe yang tak ditunaikan.
Di sisi lain terkait mobil listrik baik yang diimpor utuh maupun terurai, pemerintah memang menggeber berbagai kebijakan insentif. Impor mobil listrik utuh bahkan telah dibebaskan dari bea masuk hingga PPnBM.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, selain pabrikan otomotif, perlu diperhatikan juga nasib industri pendukungnya, seperti pabrik komponen yang masuk dalam kategori tier 2 dan tier 3.
“Dalam satu mobil itu kan ada 30 ribu komponen, kurang lebih ya. Kan ada ribuan juga pabrik yang bikin komponennya. Itu juga perlu dibangkitkan, perlu dikembangkan di sini. Bukan hanya pabrikannya saja,” ujar Kukuh beberapa waktu lalu.
Menurutnya, industri komponen otomotif lokal juga perlu didukung agar mampu menjadi pemain global yang unggul dan berdaya saing, baik dari sisi kualitas maupun harga jual.
Baca Juga : Banjir Impor Truk China di Jantung Tambang Nikel |
---|
Di lain sisi, Kukuh juga tak menampik bahwa masih ada kekhawatiran dari pelaku industri otomotif terkait adanya risiko PHK massal. Gaikindo pun berharap pemerintah dapat memberikan dukungan berupa insentif untuk mendukung daya beli masyarakat sehingga penjualan otomotif meningkat.
“Sejauh ini kan memang masih ada kekhawatiran ke sana [PHK massal], tetapi kan kita juga harus lihat apa yang bisa kita lakukan supaya itu tidak terjadi. Kita perlu ada insentif, supaya penjualannya jalan, otomatis produksinya juga jalan,” pungkas Kukuh.
PHK MENGINTAI
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian Indonesia pada kuartal I/2025 tumbuh sebesar 4,87% secara tahunan (year-on-year/YoY). Kendati demikian, angka itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 5,11% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2025 tercatat 4,76%, turun dari 4,82% pada Februari 2024. Meski terjadi penurunan TPT, tetapi jumlah penganggur secara absolut meningkat dari 7,20 juta menjadi 7,28 juta orang.
Artinya, jumlah pengangguran meningkat sebesar 80 ribu orang. Hal tersebut mengindikasikan jumlah angkatan kerja bertambah lebih cepat daripada penyerapannya.
Sejalan bertambahnya “pasukan cadangan” lapangan kerja, seiring itu pula struktur ekonomi nasional melemah. Sejauh ini pilar manufaktur yang goyah, menimbulkan efek berkurangnya lapangan kerja.
Kalah dagang Indonesia dengan mitra utama seperti China mencerminkan hal demikian. Lambat laun, para produsen lokal menyerah kalah, akibat serbuan produk impor lebih murah yang didatangkan dari Tiongkok.
Industri otomotif pun dihantam persoalan yang sama, menyusul problem lebih dulu dari sektor padat karya industri tekstil. Seperti tergambar dari catatan BPS di atas, sewaktu terjadi pelemahan pasar domestik dan berkurangnya produksi, justru impor mobil listrik hingga truk terus mengalir.
Sementara itu, Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengungkapkan sejauh ini mayoritas pabrik mobil di Indonesia tengah tertekan. Sebagian besar merampingkan produksi.
“Kalau sudah di bawah BEP, produksi di bawah 50%, maka tak terhindarkan pengurangan pekerja. Situasi sekarang lebih dulu dirasakan pemain komponen,” kata Bob.
Di sisi lain terkait persoalan misi memangkas emisi karbon, dia menilai pemerintah semestinya bisa juga merancang kebijakan untuk importasi bioetanol, selagi mudah membebaskan mobil listrik impor.
“Bioetanol itu hijau, impor BBM diganti saja dengan etanol. Menjanjikan untuk swasembada energi Indonesia ke depan,” tutup Bob.
Tumbangnya produsen lokal ini kelak jadi ancaman serius struktur ekonomi nasional. Pohon industri yang meranggas berpotensi menciptakan pengangguran secara luas.